SURABAYA – Dalam pembicaraan mengenai perkembangan pelaksanaan program Tol Laut yang dikemas dalam sebuah diskusi dengan tema ‘ Optimalisasi Pelayaran & Pelabuhan Terhadap Tol Laut Seperti Apa? ‘sempat menjadi perdebatan yang sengit dari banyak kalangan terutama di kalangan pelaku usaha pelayaran Nasional yang bemberikan kritik pedas itu belum menghasilkan formula yang bisa memperbaiki jalanya program tersebut.
Dirjen Perhubungan Laut (Ditjen Hubla) Kementerian Perhubungan, R. Agus H Purnomo mengatakan, program Tol Laut ini betul-betul sangat dibutuhkan negeri ini, compang-camping barangkali masih tapi mari kita sempurnakan. Tapi perlu saya berikan Strength Point bahwa Pemerintah berkewajiban menyediakan barang –barang kebutuhan masyarakat diseluruh pelosok negeri
“Barang-barang harus tersedia dimana dibutuhkan dengan harga yang pantas dengan pengawasan tentunya agar bisa optimal itu yang paling penting,” tuturnya dalam sambutan pembukaan forum diskusi di Hotel Sheraton Surabayayang berjudul ‘Optimalisasi Pelayaran & Pelabuhan Terhadap Tol Laut Seperti Apa? ‘, Kamis (3/10/2019).
Sehingga, apakah pantas di subsidi terus atau membangun kapal terus, menurut Saya, kondisi harga yang ada ditengah masyarakat khsusunya daerah terluar belum memungkinkan makanya negara harus hadir. Di tahun 2020 nanti kita mempunyai anggaran yang akan dikelolah untuk program ini yang telah disetujui oleh dewan meski dengan berbagai caci maki yang kita terima untuk memperjuangkan itu akhirnya di ketok dengan angka sebesar 1,4 Triliun dialokasikan negara yang meliputi untuk angkutan Perintis, angkutan Tol Laut, angkutann Ternak dan Ride.
“Seluruh program di perhubungan laut itu harus bermanfaat untuk rakyat banyak semaksimal yang kita bisa. Tentu kita tidak inggin menguasi jalur distribusi barang, kami hanya membuka jalur sehingga swasta bisa jalan secara komersial dan begitu jalan maka program perhubungan akan kita tarik,”urai Agus.
Namun begitu, Ketua DPP Persatuan Pengusaha Pelayaran Niaga Nasional Indonesia/Indonesian National Shipowners’ Association (INSA), Carmelita Hartoto mengaku, pihaknya tetap mendukung program pemerintah tersebut tetapi juga perlu dikomunikasikan selalu dengan asosiasi khsususnya terkait trayek yang akan ditentukan untuk kapal Tol Laut agar singkron dengan kapal komersial.
“Kami apresiasi dengan adanya Tol Laut karena kita juga diikutsertakan bahkan dalam 7 trayek dengan subsidi pada setiap kontainer barang yang dimuat. Tapi pengontrolannya harus tetap kita jaga bukan hanya di Kementerian Perhubungan tetapi juga harus didukung dari kementerian yang lain biar berjalan efektif,”katanya.
Menurut carmelita, kita juga punya kewajiban bagaimana mengontrol pelaksanaan Tol Laut itu bisa mengikis broker-broker yang bermain di dalamnya seperti adanya JPT itu tidak bisa jumlahnya hanya terbatas di jumlah tertentu karena itu akan membuka ruang untuk bermain.
“Mereka (JPT.red) akan tetap diuntungkan kalau sedikit makanya harus diperbanyak. Dengan banyak pemain maka akan menurunkan permainan atau pelayaran bisa langsung dengan pemilik barang, itu akan lebih bagus lagi,” jelas Carmelita.
Pada akhitnya nanti, carmelita menambahkan, pada saat komersial bisa berdiri menembus daerah-daerah tujuan Tol Laut maka segeralah bisa untuk dilepas agar pihak swasta dapat mengoptimalkan.
“Seperti dulu Perintis, kita nantinya segera bisa memberhentikan subsidi kepada Perintis maupun Tol Laut kalau komersial sudah mampu berjalan,” tandasnya.
“Saya juga mengharpkan tidak ada tumpangtindih rute pelayaran dengan kapal komersial,” imubuhnhya.
Ditempat yang sama, Bupati Morotai Benny Laos berpendapat, terkait pola subsidi yang diberikan kepada barang Tol Laut pada kontainer yang mengangkutnya harusnya yang dari Jawa tidak lagi di subsidi karena barang yang dimuat cukup banyak, tetapi barang yang dari daerah saja yang di subsidi karena kurang barang sehingga dapat merangsang agar banyak pedagang itu yang ikut bermain
“Jadi pergi tidak di subsidi tapi arus baliknya yang di subsidi dengan menentukan besaran harga sewa kontainernya,”
Benny meminta, jangan ada lagi pembatasan kuota kontainer bagi ekspedisi agar tidak ada kecurangan dalam pelaksanaan dilapangan karena memungkinkan kuota itu akan dijual belikan oleh oknum ekspedisi.
“Lepas aja biar pengusaha ekspedisi bersaing dan mari berbenah untuk oknum yang menikmati agar berhenti,” ucap Benny.
“Subsidi itu lebih baik dibagikan ke masyarakat daerah yang memerlukan untuk pembangunan,” cetusnhya.
Sedang, Gubenur Jawa Timur yang diwakili Kepala Dinas Perhubungan Fatta Jasin memberi gambaram, di Republik ini yang memiliki garis pantai terpanjang adalah Jawa Timur dengan panjang kurang lebih hampir 2 ribu kilo meter. Bahkan pulau terluar Sumenep Madura itu dekat dengan Sulawesi Selatan dan Kalimantan sangat merasakan adanya Tol Laut. Bayangkan, ada salah satu Kabupaten mempunyai pulau 200 yaitu Sumenep, yang salah satu pulaunya yaitu Raas merupakan penghasil ikan kerapu mutu ekspor yang masuk ke Bali karena lebih dekat bila dibanding ke Madura.
“Untuk itu, tetap terus dibantu dengan jalur keperintisan agar arus pergerakan perekonomian masyarakat kepulauan dapat berjalan. Selain jalur keperintisan dari APBN, jawa Timur menyediakan 30 miliar tahun 2019 untuk subsidi ongkos angkut bagi wilayah kepulauan di Jatim,” paparnya.
Fatta Jasin juga mengingatkan, kalau berbicara potensi ekonomi Indonesia pasti Jawa Timur seperti Gula Nasional 48 persen stoknya dari Jawa Timur maka Belanda mendirikan 35 pabrik gula tersebar di Jatim. Demikian juga garam, itu lebih extrim dimana 50 persen stok garam nasional dari Jatim, dan hyang tak kalah fantastisnya, 60 persen kebutuhan tembakau di suplay Jatim yang juga menembus pasar Internasional di German untuk cerutu.
“Jatim itu juga texasnya Indonesia liveting minyak dan gas di Indonesia hampir 900 ribu berel per hari itu sekitar 400 ribunya beroperasi di Bojonegoro, dan di Madura ada 30 KPS yang ada, 5 sudah eksploitasi sehingga sangat membutuhkan dukungan transportasi laut,“ akunya.
Sementara itu, salah satu narasumber, Direktur Operasi dan Komersial Pelindo III (Persero), Putut Sri Muljanto mengatakan, kapalnya Tol Laut itu tidak perlu dari dan ke Surabaya karena ukuranya kecil lebih baik beroperasi seperti di Somlaki, Rote di wilayah yang lebih kecil saja, sedang kapal komersial yang ukurannya lebih besar sudah lancar dengan rute pelayaran seperti Makassar, Kendari, Bitung, Irian dan sebagainya hingga 600 -800TEUs.
“Tol Laut itu kan kecil sekitar 200 TEUs jadi pasnya mutar-mutar aja di wilayah kecil. Komersial dari Surabaya seminggu ke Kupang sudah dua kapal, ke Papuan seminggu sekali yang rata-rata pihak swasta 21 hari menyediakan 3 kapal ,” tuturnya.
Putut menggambarkan, seperti jika Tol Laut ke Papua, sekitar sebulan sekali kapalnya berlayar sedang kebutuhan di daerah terus berjalan artinya sangat kurang efektif. Jadi menurut saya tidak lagi kapal Tol Laut rutenya dari maupun masuk pelabuhan Surabaya karena Pemerintah itu bukan masuk keranah pasarnya swasta yang sudah persaingannya ketat yang menjadikan harga itu bisa terjangkau oleh pedagang yang berujung harga barang di pasaran luar Jawa.
“Tol Laut itu sudah bagus, mari kita sempurnakan, dioptimalkan ,” ungkapnya.
Namun ada hal yang menarik dari penyataan tersebut, sepertinya ada hal yang dapat dipertimbangkan dengan anggapan bahwa trayek Tol Laut kurang efisien bila dilakukan pelayaran jangka panjang dari pelabuhan Surabaya ke pelabuhan tujuan Tol Laut maupun sebaliknya.
“Apa tidak sebaliknya, justru akan lebih efisien bila tetap dilakukan pelayaran rute dari pelabuhan kota Pahlawan itu “.
Jika Tol Laut dilakukan di pelabuhan yang lebih kecil menuju ke pulau-pulau terluar sedang barang kebutuhan itu dari Surabaya maka justru akan menimbulkan biaya yang lebih tinggi, pasalnya akan terjadi Double Handling akibat barang awal diangkut dari Jawa melalui Surabaya sebagai sentral penyedia kebutuhan ke pelabuhan tujuan kapal komersial yang kemudian dilakukan bongkar lalu dilakukan muat lagi di kapal Tol Laut kemudian di distribusikan lagi ke pedalaman.
“Itulah mungkin yang bisa dikatakan akan terjadi pembengkakan biaya yang pada akhirnya akan berpengaruh pada harga barang yang dibeli masyarakat”.
Jadi Tol Laut itu harus diprioritas untuk jurusan yang tidak dilayani oleh kapal Komersial, bukan berarti kapal Tol Laut tidak boleh melakukan pelayaran langsung dari Surabaya, karena contoh persoalan, dari beberapa daerah balik seperti yang menghasilkan ikan segar dilakukan pengiriman ke luar negeri melalui perlabuhan Surabaya.“Bagaima na kalau ikan-ikan itu harus dibawa mutar-mutar harus naik turun dari kapal di beberapa pelabuhan tentu resiko, selain itu akan terjadi pembengkakan biaya akibat Double Handling”.
Justru dengan begitu akan mematikan masyarakat dengan menanggung beban lebih setiap kali pengiriman barang. Namun jika pelayaran itu bisa Direct atau langsung ke Surabaya dan begitu sebaliknya, maka kelancaran akan tercapai dengan sekali biaya angkut.
“Mungkin yang harus dilakukan itu solusinya dengan menambah frekwensi kapal sehingga tidak akan terjadi kekosongan arus pengiriman barang tersebut”.
Dengan begitu, harapan pemerintah untuk menekan diparitas harga itu akan dapat tercapai kalau saat ini pelayaran Tol Laut dirasakan kurang maksimal karena tenggangnya dianggap terlalu lama. Serta akan berdampak pada dunia usaha galangan kapal, pasalnya penambahan frekwensi pelayaran tentu dibutuhkan ketersediaan kapal yang lebih banyak sehingga pemerintah harus dapat menyediakan armada Tol Laut lebih banyak lagi.
“Dari dulu sudah tercipta sebagai hub domestik tinggal belum menyentuk pulau-pulau kecil yang lain. Yang jadi persoalan, kapal-kapal Internasional itu pun berhentinya di Tanjung Perak yang merupakan pelabuhan terbesar ke dua di Indonesia setelah Tanjung Priok, Jakarta”. (RG)