SURABAYA – Komisi Pemilihan Umum (KPU) akan mengumumkan pemenang Pemilihan Presiden 2019 dari hasil rekapitulasi nasional pada 22 Mei mendatang. Sebelum pengumuman resmi, publik dapat terus memantau lewat Sistem Informasi Perhitungan Suara (Situng) KPU yang mencerminkan data perhitungan riil atau real count.
Namun seiring menjelang pengumuman 22 Mei, kubu Prabowo Subianto-Sandiaga Uno terus menggemakan Pemilu curang dan memobilisasi kekuatan massa (people power).
Menyikapi wacana People Power atau pengerahan kekuatan massa yang dihembuskan kubu Prabowo-Sandi, Ketua DPW Srikandi Pemuda Pancasila Jawa Timur, Icha Aisyah Faried Ghafar menilai wacana pengerahan kekuatan rakyat (people power) yang ada saat ini cenderung mengarah ke gerakan makar. Sebab, gerakan people power yang belakangan disuarakan kubu pendukung Prabowo –Sandi tersebut tidak ditujukan untuk keadilan masyarakat.
“Sebagai Srikandi Pemuda Pancasila Jawa Timur, kami menolak keras gerakan people power yang didasari oleh hasutan pihak tertentu untuk menyimpang dari hukum. Sebab, people power hanya sekadar memenuhi keinginan pihak yang tidak puas,” kata Icha di Surabaya, Senin (20/5).
Menurut Icha people power yang menolak hasil pemilu adalah tindakan melanggar konstitusi (inkonstitusional). “Saat ini yang terjadi adalah people power dalam konteks menolak hasil pemilu dan hal itu disebut inkonstitusional,” tuturnya.
Dia mengatakan, sah-sah saja membuat wacana tentang people power, namun bukan dalam konteks menolak hasil pemilu. “People power itu dilakukan untuk melawan otoriter dan menjadi agenda bersama masyarakat seperti yang terjadi pada tahun 1998, yakni melawan KKN dan rezim otoriter Orde Baru,” ucapnya.
Icha menjelaskan bahwa, latar belakang situasi dan kondisi saat ini tidak memenuhi prasyarat terjadinya people power. Sebab, latar belakang situasi dan alasan mekakukan people power sangat berbeda dengan era reformasi 1998.
“Pada era 1998 semua terpenuhi yakni kesenjangan yang tajam antara kaya dan miskin, kemiskinan semakin lebar, pemimpin otoriter, saluran demokrasi seperti kebebasan berpendapat disumbat, praktik korupsi, kolusi dan nepotisme merajalela, sehingga terjadi ketidakpuasan masyarakat,” jelasnya.
Menolak hasil pemilu jelas adalah merupakan pelanggaran UU tentang kepemiluan, karena KPU adalah lembaga yang sah untuk melaksanakan semua tahapan pemilu hingga mengumumkan hasilnya.
“Intinya, hasil pemilu yang nantinya akan diumumkan KPU adalah sah menurut UU. Siapa pemenangnya, itulah yang berhak menyusun kabinet untuk pemerintahan selama lima tahun ke depan,” ujarnya.
“Langkah tepatnya jika tidak terima hasil KPU yaitu melalui gugatan ke Bawaslu dan ke MK sebagai lembaga yang sah menangani persoalan kecurangan pemilu,” tambahnya.
Apabila gerakan people power itu sampai terjadi, Icha menilai dampak yang didapatkan bisa berimbas pada perekonomian yang sudah terbangun, atau mungkin bisa akan terpuruk. Selain itu, kurs Dollar Indonesia terhadap Amerika juga akan semakin melemah, dan biaya hutang negara akan semakin membengkak.
“Keterpurukan tiap-tiap perusahaan yang ada di Indonesia akan semakin melemah. Otomatis kondisi perusahaan bangkrut, dan dampak yang terjadi pemutusan hubungan kerja akan semakin banyak,” ujarnya.
Selain mengingatkan mengenai bahaya “People Power”, Icha juga menyampaikan siap mendukung keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), Pancasila, dan UUD 1945, yaitu mendukung TNI-Polri dalam melakukan pengamanan dan penegakan hukum agar terciptanya situasi yang aman, daman, rukun, tertib, dan kondusif.
“Kami (Srikandi PP Jatim,red) juga mengapresiasi kepada Kepolisian dalam upaya menghentikan penyebaran hoaks, fitnah, hasut yang berpotensi mengakibatkan perpecahan bangsa,” pujinya.
Icha juga meminta masyarakat harus bijak, sebab Indonesia adalah negara yang berlandaskan hukum. “Artinya, semua persoalan harus diselesaikan berdasarkan hukum yang berlaku. Jangan mau terhasut oleh kepentingan kelompok yang berambisi kekuasaan,” pungkasnya. (Diea)