JAKARTA – Sungguh memprihatinkan seluruh Rakyat Indonesia, harus membayar kerugian dan menanggung beban hutang pada proyek kereta api ringan atau Light Rail Transit (LRT) Palembang. Pasalnya, anggaran pembangunan mega proyek sebesar Rp10,9 Triliun itu, bersumber dari China Development Bank (CDB) dan konsorsium BUMN China dengan kepemilikan saham mayoritas 75% sementara gabungan BUMN Indonesia hanya memperoleh saham 25%.
“Yang menikmati LRT Palembang adalah masyarakat di Sumatera Selatan, tetapi seluruh rakyat Indonesia harus menerima beban urunan untuk membayar angsuran hutang plus bunga dan penyusutan anggaran pada proyek LRT ini. Demikian juga konstituen daerah pemilihan Surabaya-Sidoarjo juga harus menanggung kerugian akibat salah kebijakan tersebut” Kata Bambang Haryo Soekartono, anggota Komisi V DPR-RI, Senin (11/3/2019).
Menurut Bambang, hutang yang besar itu, membuat perusahaan BUMN, Wira Karya sebagai pelaksana proyek, tampak dirundung kepanikan pengembalian hutang kepada CDB, karena baru dibayar Pemerintah Jokowi melalui mekanisme APBN tahap pertama sebesar Rp1,8 Triliun. Dari informasi yang diperoleh, proyek milik Kemenhub itu masih memiliki hutang dengan bunga 4,7% atau setara Rp45 Milyar perbulan ditambah angsuran dan penyusutan, dengan hitungan kalkulasi setahun mencapai Rp1,2 Triliun.
“Padahal, kata anggota fraksi Gerindra ini, semestinya beban LRT Palembang ini ditanggulangi oleh Pemerintah Daerah, lantaran Pemda setempat yang mengusulkan proyek tersebut,” jelasnya.
Bagaimana tidak, lanjut Bambang, proyek itu diusulkan Gubernur Sumsel, kemudian disetujui oleh Presiden dan Menteri Perhubungan untuk mengeluarkan direktif melalui Perpres Nomor 116 Tahun 2015 dan Perpres 55 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 116 Tahun 2015 tentang Percepatan Penyelenggaraan Kereta Api Ringan/Light Rail Transit di Provinsi Sumatera Selatan.
“Ini tanpa melalui mekanisme kajian secara teknis dan ekonomis, kemudian Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Kemenhub, juga tidak dilibatkan, akhirnya LRT tidak terkoneksi, sepi penumpang dan merugi. Sehingga mereka harus bertanggung jawab, jangan dibebankan kepada seluruh rakyat Indonesia,” tandas Bambang.
Bambang yang juga Caleg DPR-RI Dapil Surabaya-Sidoarjo mengingatkan, mengenai hutang dan Subsidi LRT harusnya tidak lagi dibebankan kepada APBN, dan subsidi LRT dari APBN sebesar Rp123 Milyar pertahun harus dicabut.
“Karena prioritas anggaran negara masih diperlukan untuk kebutuhan Nasional, jadi bukan hanya Palembang saja,” tegasnya.
Sebelumnya, Ormas Masyarakat pencari keadilan di Jakarta, menenggarai LRT Palembang sarat kepentingan pemodal, lantaran proyek itu hanya terkoneksi ke Pusat perbelanjaan moderen milik Lippo Group.
Proyek yang dikerjakan Waskita Karya akhir 2015 lalu ini, dinilai tidak pro rakyat, karena transportasi massal cepat tersebut hanya ditumpangi kelas menengah keatas. Sebagaimana jalur LRT yang dirilis Kemenhub, proyek sepanjang 24,5km itu hanya melewati Bandara Sultan Baddarudin II, Mall Palembang icon hingga berakhir di Depo Bangunan Palembang.
“Ya, kita menduga ada oknum pemodal yang berada dibalik mega proyek ini, untuk itu kami minta agar KPK segera mendalami, dan mengusut tuntas adanya kerugian negara dalam proyek ini,” ungkap Dimas Eko, ketua Ormas MPK. (RG/Don/red)