KEBUDAYAAN MASYARAKAT DALAM JUVENILE DELINQUENCY

115

Ulfi Anggraini S.Pd ulfianggraini96@gmail.com

 

Abstrak

Dinamika perubahan kebudayaan masyarakat bergerak progresif bahkan cenderung agresif. Hal ini dipengaruhi oleh masyarakat modern yang serba kompleks sebagai produk kemajuan teknologi, mekanisasi, industrialisasi, dan urbanisasi. Sehingga menimbulkan berbagai macam budaya yang saling berkelompok. Setiap kelompok memegang erat ideologi dan doktrin, yang di dalamnya mempunyai peraturan-peraturan yang ketat, sanksi, dan hukum-hukum yang berat. Hal ini yang dipicu timbulnya kelompok baru, karena ketidak kesesuaian ideologi dan doktrin terhadap dirinya, sehingga terbentuklah kelompok-kelompok baru. Kelompok lama dan baru memiliki ideologi dan doktrin yang berbeda sehingga dapat terjadi konflik. Baik itu konflik ekstrnal maupun internal dalam batinnya sendiri yang tersembunyi dan tertutup sifatnya. Sebagai dampaknya, setiap orang mengembangkan pola tingkah laku menyimpang dari norma-norma umum. Sebagai akibat lebih lanjut timbul ketidak sinambungan, disharmoni, ketegangan, kecemasan, ketakutan, kerusuhan sosial, dan perilaku yang melanggar norma-norma formal. Lambat laun, apabila tingkah laku menyimpang (deviasi) itu meluas ditengah masyarakat, berlangsunglah deviasi situasional kumulatif. Dimana seseorang bertindak menyimbang secara berulang menyebabkan kumulatif. Sehingga deviasi situasional kumulatif ini dilakukan secara turun temurun oleh orang dewasa ke generasi muda selanjutnya. Deviasi yang dilakukan oleh generasi muda yang membentuk tingkah laku yang berkonotasi terhadap pelanggaran, kejahatan, dan keganasan yang dilakukan oleh anak-anak muda sekarang ini. Tingkah laku yang dilakukan oleh anak-anak yang masih labil secara fisik maupun psikisnya yang mudah terpengaruh oleh lingkungannya mengakibatkan peniruan tingkah laku yang beberapa kasus cenderung kedalam tindak kriminal. Untuk menghentikan laju perkembangan juvenile delequency (kejahatan anak remaja) perlu adanya kontrol diri orang dewasa dalam memberikan refleksi positif dari perbuatan yang dilakukan orang dewasa kepada generasi muda.

Keyword : Kebudayaan, Masyarakat, Juvenile, Delinquency

Pendahuluan

Pada zaman modern sekarang ini bertemulah banyak kebudayaan sebagai hasil makin akrab komunikasi daerah, nasional, dan internasional. Amalgamasi atau keluluhan bermacam-macam budaya itu dapat berlangsung lancar, akan tetapi tidak jarang berproses melalui konflik personal dan sosial yang hebat. Hal itu disebabkan oleh keresahan sosial dan ketidakrukunan  kelompok-kelompok sosial. Sebagai akibat lebih lanjut timbul ketidak sinambungan, disharmoni, ketegangan, kecemasan, ketakutan, kerusuhan sosial, dan perilaku yang melanggar norma-norma yang berlaku di masyarakat, sebab masing-masing orang hanya mentaati norma dan peraturan yang dibuat sendiri. Contohnya kebudayaan yang masih ada sampai sekarang yang melanggar norma-norma yang berlaku di masyarakat  yaitu kebudayaan carok dari madura, Budaya judi sabung ayam tabuh rah dari Bali dan lain sebagainya. Kebudayaan menyimpang yang dijadikan pembiasaan di lingkungan masyarakat dapat mengganggu keutuhan dan kelancaran berfungsinya organisasi sosial. Karena dalam prosesnya bisa mengganggu, menghambat, atau bahkan merugikan bagian-bagian lain di lingkungannya.

Lingkungan yang tidak baik menimbulkan reaksi emosional buruk pada anak anak puber yang masih labil jiwanya. Dengan begitu anak anak remaja ini mudah meniru yang dilakukan orang dewasa.

Laporan “United Nations Congress on the Preventions of Crime and the Treatment of Offenders” yang bertemu di London pada 1960 menyatakan adanya kenaikan jumlah juvenile delinquency (kejahatan anak remaja) dalam kualitas kejahatan, dan peningkatan dalam kegarangan serta kebengisannya yang lebih bnyak dilakukan dalam aksi aksi kelompok daripada tindak kejahatan individual (Minddendorff, 1960 dalam buku Kartini Kartono:2014).

Tingkahlaku delinkuen itu pada umumnya merupakan kegagalan sistem kontrol diri terhadap impuls-impuls yang kuat dan dorongan-dorongan instinktif. Impuls-impuls kuat, dorongan primitif dan sentimen-sentimen hebat itu kemudian disalurkan lewat perbuatan kejahatan,kekerasan, dan agresi keras, yang di anggap mengandung nilai lebih oleh anak remaja tadi (Kartini Kartono,2014:105).

Jika kita mau jujur dengan mata terbuka melihat keresahan yang terjadi di lingkungan sekitar kita, banyak kenakalan remaja yang masuk ke dalam norma-norma yang barlaku dimasyarakat seperti perkelahian, judi, sexs bebas, dan lain lain. Sehingga penulis  bertanya tanya terkait juvenile delinquency yaitu Mengapa juvenile delinquency bisa dialami?, padahal hal tersebut merugikan diri dan lingkungannya.

Terdapat satu hasil penelitian yang penulis anggap layak untuk dimunculkan sebagai jawaban yaitu juvenile delinquency bisa dialami karena hasil dari peniruan atau identifikasi anak remaja terhadap gerak gerik  dan tingkah laku orang dewasa “modern dan berbudaya” sekarang ini (Kartini Kartono, 2014:129).

Catatan di atas memberikan gambaran jika orang menginginkan para remaja menjadi sehat lahir batinnya, hendaklah orang dewasa banyak mawas diri dan melakukan koreksi diri, sehingga pantas menjadi contoh yang baik bagi anak-anak muda (Kartini Kartono, 2014:119).

Kebudayaan

Kebudayaan salah satu ikatan yang tidak bisa di pisahkan ke dalam lingkungan hidup bermasyarakat. Untuk dapat melestarikannya maka kebudayaan perlu di wariskan ke generasi selanjutnya. Di dalam kebudayaan terdapat unsur-unsur pokok kebudayaan.

Bronislaw Malinowski menyebutkan unsur unsur utama kebudayaan adalah sistem norma, lingkungan alam, ekonomi organisasi, alat, dan lembaga. Sedangkan menurut Melville J. Herskovits mengajukan empat unsur pokok kebudayaan, yaitu alat-alat teknologi, sistem ekonomi, keluarga, kekuasaan politik. Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi (dalam Soearjono Soekanto:2005,151).

Kebudayaan bagi Masyarakat

Manusia adalah makhluk sosial. Aristoteles menyebutnya sebagai zoom politicon atau makhluk bermasyarakat. Selo Soemardjan menyebutkan bahwa masyarakat adalah orang-orang yang hidup bersama yang menghasilkan kebudayaan. Dalam setiap kebudayaan terkandung nilai-nilai dan norma sosial yang merupakan faktor pendorong bagi manusia untuk bertingkah laku dan mencapai kepuasan tertentu dalam kehidupan sehari-hari.

Berdasarkan pendapat Freud, pribadi manusia itu terbentuk dari dorongan-dorongan nafsu-nafsu. Juga dikemukakan olehnya bahwa ada 3 sistem dalam pembentukan pribadi manusia yang disebut Id, Ego, dan Superego, inilah yang menjadi prinsip kesenangan yang memiliki fungsi untuk menyalurkan enersi untuk segera meniadakan ketegangan (menuntut kepuasan)(Ari:2010). Hal ini dibatasi oleh oleh system nilai dan norma yang ada di masyarakat.

Koejadiningrat (1984:25) mengemukakan suatu system nilai budaya terdiri dari konsepsi-konsepsi, yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar warga masyarakat mengenai hal-hal yang harus mereka anggap amat bernilai dalam hidup. Karena itu, suatu system nilai budaya biasanya berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi kelakuan manusia.

(Syamsul Rijal:2014) dalam tulisannya memberikan pandangan mengenai teori kebudayaan yaitu teori integrasi dan teori konflik. Teori integrasi umumnya dapat diartikan bahwa untuk mencapai perubahan atau kemajuan dalam masyarakat, harus ada integrasi atau kesatuan dalam komunitas itu sendiri. Sementara itu teori konflik dapat diartikan bahwa untuk mencapai perubahan atau kemajuan dalam masyarakat, harus ada atau melewati konflik terlebih dahulu di masyarakat.

Dua teori di atas juga dapat terjadi secara bersamaan dimasyarakat, jika konflik antar kelompok terjadi. Ini bisa disebut fungsi “menyatukan dan memisahkan” oleh Garvin dan Mathiot dalam buku Kartini Kartono (2014)

Konflik kebudayaan apabila tidak sesui dengan nilai dan norma sosial menyebabkan perpecahan disetiap lingkungan masyarakat. Contoh kebudayaan carok dari Madura. Dalam prosesnya menyebabkan perkelahian dan petumpahan darah. Hal ini tidak sesuai dengan norma-norma formal yang di akui di Indonesia. Selanjutnya adalah kebudayaan judi sabung tabuh rah dari Bali. Dalam norma norma formal bahwasannya judi di larang di indonesia. Tapi di dalam praktiknya masih ada sampai sekarang.

Teori Sebab Terjadinya Juvenile Delinquency

Pengaruh sosial dan kultural memainkan peranan besar dalam menentukan tingkahlaku delinkuen pada anak-anak remaja. Karena itu kejahatan remaja merupakan peristiwa minimnya konformitas anak-anak remaja terhadap norma sosial yang berlaku. Mereka sangat terpengaruh oleh stimuli sosial yang jahat sehingga anak menjadi delinkuen. Stimuli sosial yang buruk itu antara lain: lingkungan kelas sosial ekonomi rendah, dengan kaum pekerja yang tidak terlatih, daerah slum, kawasan perumahan baru yang transisional dengan banyak kasus defisiensi mental, invalidisme/cacat mental dan jasmiah, alkoholisme dan daerah-daerah rawan sarang penjahat, dan lain-lain (Kartini Kartono, 2014:78).

Perlu diketahui menurut Hurlock (1998 : 107) “masa remaja merupakan masa dimana seorang individu mengalami peralihan dari satu tahap ke tahap berikutnya dan mengalami perubahan baik emosi, tubuh, minat, pola perilaku, dan juga penuh dengan masalah-masalah”. Sedangkan menurut Papalia dan Olds (dalam Yudrik Jahja, 2011) bahwa masa remaja adalah masa transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dan dewasa yang pada umumnya dimulai pada usia 12 atau 13 tahun dan berakhir pada usia akhir belasan tahun atau awal dua puluh tahun. Selanjutnya menurut pendapat Mohammad Ali dan Mohammad Asrori (2012 : 10) “fase remaja merupakan fase perkembangan yang tengah berada pada masa amat potensial, baik dilihat dari aspek kognitif, emosi, maupun fisik”. Pada umumnya remaja menuntut dan menginginkan kebebasan dari orang dewasa lainnya dalam bertindak, akan tetapi mereka sering takut bertanggung jawab akan akibatnya dan meragukan kemampuan mereka untuk mengatasi setiap permasalahan tersebut. Sehingga melakukan tindakan melanggar norma-norma yang berlaku di masyarakat.

Menurut Sudarsono (2012) bahwa kenakalan bukan hanya merupakan perbuatan anak yang melawan hukum semata akan tetapi juga termasuk di dalamnya perbuatan yang melanggar norma masyarakat. Dengan demikian masalah-masalah sosial yang timbul karena perbuatan remaja dirasakan sangat mengganggu, dan merisaukan kehidupan masyarakat, bahkan sebagian anggota masyarakat menjadi terancam hidupnya. Perbuatan seperti ini menimbulkan Juvenile Delinquency.

Kejahatan remaja (Juvenile Delinquency) merupakan gejala penyimpangan dan patologis secara sosial itu juga dapat dikelompokkan dalam satu kelas defektif secara sosial dan mempunyai sebab musabab yang majemuk jadi sifatnya multi kausal . Para pakar menggolongkan beberapa teori:

  1. Teori biologis

Tingkah laku delinkuen pada anak remaja muncul karena faktor fisiologis dan struktur jasmaniah, yang dibawa sejak lahir mengakibatkan kerusakan mental sehingga orang yang bersangkutan tidak mampu melakukan kontrol diri yang cenderung berbuat menyimpang dari norma dan nilai yang berlaku dimasyarakat. Penyimpangan tingkah laku disebabkan oleh kerusakan organ-organ inferior anak (Adler,1952 dalam buku Kartini Kartono:2014).

Sarjana lain menemukan fungsi fisiologis dan neurologis yang khas pada anak-anak delinkuen ini, antara lain mereka kurang mereaksi terhadap stimuli kesakitan dan lebih kebal. Serta menunjukkan ketidak matangan jasmaniah atau “anomali-anomali perkembangan” (Stafford Cark, 1951 dalam buku Kartini Kartono:2014).

Anak-anak delinkuen lebih “idiot secara moral”, dan memiliki perbedaan ciri karakteristik yang jasmaniah sejak lahir jika dibanding dengan anak-anak normal. Bentuk tubuh mereka lebih “mesomorphs”, yaitu relatif berotot, kekar, kuat (60%), dan pada umumnya bersifat lebih agresif (Lobroso,1899).

  1. Teori psikogenis

Teori ini menekankan sebab tingkahlaku delinkuen disebabkan aspek psikologis atau isi kejiwaannya. Isi kejiwaan yang tidak terkontrol sebagai akibatnya, kehidupan emosional menjadi dangkal atau tumpul bahkan beku tanpa perasaan perikemanusiaan, mereka menjadi kejam, dan sadis serta anti sosial. Semua ini timbul disebabkan oleh proses pengondisian yang keliru oleh orang dewasa terhadap kehidupan jiwani anak-anak dan para remaja, sehingga anak muda menjadi salah bentuk, salah didik, dan salah tingkah (Kartini Kartono,2014:118).

Maka jika seseorang menginginkan para remaja kita menjadi sehat lahir batinnya, hendaklah orang dewasa banyak mawas diri dan melakukan koreksi diri, sehingga pantas menjadi contoh yang baik bagi anak muda , dan bisa mengkondisikan para remaja menjadi pribadi-pribadi yang baik. Terutama keluarga, karena keluarga adalah lembaga pertama dan utama dalam melaksanakan proses sosialisasi dan suviliasi pribadi anak. Keluarga memberikan pengaruh pembentukan watak dan kepribadian anak, dan menjadi unit sosial terkecil yang memberikan fondasi primer bagi perkembangan anak. Baik buruknya struktur keluarga memberikan dampak baik atau buruknya perkembangan jiwa dan jasmani anak (Kartini Kartono,2014:119-120).

  1. Teori Sosiogenis

Teori ini murni dari sosiologis atau sosial psikologis. Tingkah laku ini disebabkan oleh pengaruh struktur sosial, tekanan kelompok, peranan sosial, status sosial, dan internalisasi simbolis yang keliru.

Maka untuk memainkan tekanan sosial tertentu dan untuk memberikan arti bagi eksistensi hidupnya, untuk mengangkat martabat dirinya serta menegakkan fungsi-egonya, secara bersama-sama mereka lalu melakukan perbuatan kejahatan. Maksud utama perbuatan tersebut adalah untuk menarik perhatian orang luar, menegakkan egonya yang dianggapnya terancam dan tersisih secara tidak adil, mencari bobot, dan arti bagi hidupnya (Kartini Kartono,2014:90).

Lama kelamaan pola hidup yang delinkuen ini menjadi kebiasaan dan menjadi naluri kedua, dan mereka akhirnya menjadi benar-benar kriminal (Kartini Kartono,2014:91).

  1. Teori Subkultur

Teori ini bersumber dari sifat-sifat suatu struktur sosial dengan pola budaya (Subkultural) yang khas dalam lingkup masyarakat (Kartini Kartono, 2014:25-31). Ke khasan ini melekat disuatu daerah tertentu. Subkultur ini ada yang memberikan refleksi baik untuk kepribadian anak, seperti meningkatkan kerukunan, gotong royong, dan toleransi, disamping itu ada pula kebudayaan yang melanggar norma-norma hukum, hal tersebut hasil dari refleksi kebudayaan yang menyimpang sebelumnya dari tatanan masyarakat, contoh kebudayaan yang masih ada sampai sekarang yang melanggar norma-norma hukum formal yaitu kebudayaan carok dari madura, Budaya judi sabung ayam tabuh rah dari Bali dan lain sebagainya. Dari kebudayaan tersebut anak dipertontonkan berulang dengan perkelahian, bahkan sampai pertumbahan darah, perjudian, dan lain sebagainya. Hal tersebut memberikan stimulus anak untuk meniru dan melakukannya. Oleh sebab itu perlu adanya wadah sebagai tempat pengembagan potensi secara positif  dengan didukung oleh orang dewasa yang peduli secara internal masing-masing pribadi generasi muda.

Menurut Sudarsono (2012) bahwa juvenile delinquence sebagai kejahatan anak dapat diinterpretasikan berdampak negatif secara psikologis terhadap anak yang menjadi pelakunya, apalagi jika sebutan tersebut secara langsung menjadi semacam trade-mark. kemudian Jensen (dalam Sarlito, 2012) membagi kenakalan remaja menjadi empat jenis yaitu;1. Kenakalan yang menimbulkan korban fisik pada orang lain: perkelahian, perkosaan, perampokkan, pembunuhan, dan lain-lain.2. Kenakalan yang menimbulkan korban materi: perusakan, pencurian, pencopetan, pemerasan, dan lain-lain.3. Kenakalan sosial yang tidak menimbulkaan korban di pihak orang lain: pelacuran, penyalahgunaan obat.4. Kenakalan yang melawan status, misalnya mengingkari status anak sebagai pelajar dengan cara membolos, mengingkari status orang tua dengan cara minggat dari rumah atau membantah perintah mereka, dan sebagainya.

Penutup

Kebudayaan adalah norma tertinggi di masyarakat yang berkembang dari orang dewasa ke generasi selanjutnya. Kebudayaan sebagai ciri khas bagi kelompok yang dapat berpengaruh terhadap setiap anggotanya, dimana terdapat nilai dan norma positif dan negatif. Yang menjadi permasalahan yaitu kebudayaan yang memiliki nilai dan norma negatif. Yang dapat berpengaruh terhadap tingkahlaku setiap anggotanya. Dimana hal ini dapat menimbulkan kenakalan remaja. Dan kenakalan remaja ini dipengaruhi oleh 4 faktor yaitu biologis, psikogenis, sosiogenis, dan subkultural (budaya). Dan faktor ini saling berkaitan yang menimbulkan kerugian antara lain 1. Kenakalan yang menimbulkan korban fisik pada orang lain: perkelahian, perkosaan, perampokkan, pembunuhan, dan lain-lain.2. Kenakalan yang menimbulkan korban materi: perusakan, pencurian, pencopetan, pemerasan, dan lain-lain.3. Kenakalan sosial yang tidak menimbulkaan korban di pihak orang lain: pelacuran, penyalahgunaan obat.4. Kenakalan yang melawan status, misalnya mengingkari status anak sebagai pelajar dengan cara membolos, mengingkari status orang tua dengan cara minggat dari rumah atau membantah perintah mereka, dan sebagainya.

Untuk menyembuhkan kenakalan remaja

  1. Banyak mawas diri, perbanyak kearifan, kebaikan dan keadilan, agar kita (orang dewasa) bisa dijadikan panutan bagi generasi muda.
  2. Memberikan kesempatan pada anak muda untuk ikut serta dalam penentuan keputusan penting demi keadilan yang lebih merata.
  3. Memberikan fasilitas pengembangan bakat dan potensi anak muda.

Daftar Bacaan

Ari H. Gunawan. (2010). Sosiologi Pendidikan: Suatu Analisis SosiologiTentang Berbagai Problem Pendidikan. Jakarta: Rineka cipta.

Hurlock. (1996). Psikologi Perkembangan (Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang kehidupan). Terjemahan Istiwidayanti dan Soedjarwo. Jakarta: Erlangga.

Kartini Kartono. (2014). Patologi Sosial 2:Kenakalan Remaja. Depok:RajaGrafindo Persada.

Koentjaraningrat. (1984). Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta:Gramedia.

Lobroso Cesare Crème. (1899). It’s Causes and Remedies. Boston:Little.

Soejono Soekanto. (2005). Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Jakarta:RajaGrafindo Persada.

Sarlito W. Sarwono. (2012). Psikologi Remaja. Jakarta: Rajawali Pers.

Sudarsono. (2012). Kenakalan Remaja. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Syamsul Rijal. (2014). Menggali Kearifan Lokal Budaya KeIndonesian Kita.

Mohammad Ali dan Mohammad Asrori. (2012). Psikologi Remaja Perkembangan Peserta Didik. Jakarta : PT Bumi Aksara.

Yudrik Jahja. (2011). Psikologi Perkembangan. Jakarta: Kencana.

Titikomapost.com tidak bertanggung jawab atas isi komentar yang ditulis. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE