TARAKAN – Upaya memperkuat pengawasan terhadap barang berbahaya di pelabuhan, Ditjen Perhubungan Laut (DJPL) melalui Direktorat KPLP bersama kantor KSOP Tarakan selenggarakan pembentukan tim pengawasan penanganan barang berbahaya muatan kapal laut di wilayah unit pelaksana teknis se-Kalimantan Utara.
Kegiatan yang diselenggarakan dengan menghadirkan lima kepala kantor dan jajarannya, yaitu KSOP Kelas III Tarakan, KSOP Kelas IV Nunukan, UPP Kelas II Tanjung Selor, UPP Kelas II Sungai Nyamuk, dan UPP Kelas III Bunyu yang dilaksanakan selama tiga hari itu dalam rangka meningkatkan kompetensi Sumber Daya Manusia (SDM) sehubungan dengan pengawasan dan pelayanan kepada masyarakat terutama di bidang pengangkutan muatan barang berbahaya curah padat.
“Sebagai koordinator UPT Kalimantan Utara, kita berharap ada keseragaman terkait pengawasan barang berbahaya di pelabuhan, untuk itu kami bersama UPT yang ada mengikuti arahan dari Direktorat KPLP guna pembentukan tim pengawasnya,” kata Kepala Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan (KSOP) Kelas III Tarakan, Capt. M. Hermawan, S.SIT, MM, M.Mar disela pembukaan acara pembentukan tim pengawas pelaksanaan terkait IMSBC CODE / IMDG CODE, Jum’at (4/12/2020).
Menurut Hermawan, kegiatan pengawasan dan pengangkutan barang berbahaya di pelabuhan merupakan salah satu tugas kami, untuk itu perlu adanya sumber daya manusia yang mumpuni dalam sebuah tim pelaksana pengawasan barang berbahaya.
“Dalam pelaksanaan pengawasan itu, kita memang dituntut melakukan penangananya berpedoman pada aturan yang berlaku secara nasional maupun aturan internasional seperti ketentuan yang dipersyaratkan dalam International Maritime Solid Bulk Cargo (IMSBC) Code,” terang Hermawan.
Ditempat yang sama, Kasi Tertib Bandar Direktorat KPLP, Capt. Oka Harry Putranto membenarkan, penangan pengawasan terkait barang berbahaya harus betul-betul serius dilakukan oleh jajaran Ditjen Hubla diseluruh tanah air terlebih dengan adanya peristiwa ledakan amonium nitrat di pelabuhan Beirut beberapa waktu lalu, pemerintah sangat serius menyikapinya.
“Hal ini sangat urgen untuk dilakukan pasca ada ledakan di Beirut terkait amonium nitrat, hal itu sangat krusial untuk dilakukan pembahasan sehingga perlu dibentuk tim pengawasan barang berbahaya yang handal disetiap UPT,” tandasnya.
Yang kami lakukan saat ini, lanjut Oka, Direktorat KPLP gerilya turun ke daerah untuk membentuk tim pengawasan tersebut. Selain itu, kami melakukan monitoring dan evaluasi terkait penanganan barang berbahaya disetiap pelabuhan seluruh Indonesia sebagai upaya membuat pedoman NSPK (Norma Standar Pedoman Kriteria) pengawasan IMDG Code.
“Hal- hal itu yang coba ingin kita prioritaskan karena setiap UPT yang ada di daerah ingin mendapatkan payung hukum yang jelas dan juga supaya tidak bersinggungan dengan aparat hukum yang lainnya,” jelasnya.
Sementara, Kepala UPP Tanjung Selor Kelas II, Capt. Ujang Sunardi mengatakan, ada persoalan ditempatnya terkait pemuatan kategori barang berbahaya seperti elpiji subsidi keatas kapal Roll On-Roll Off (RoRo) yang menjadi debat tebel. Karena barang teresebut menjadi kebutuhan masyarakat maka kita pun memberi ijin dengan pertimbangan barang subsidi.
“Sebenarnya yang kami butuhkan adalah dasar aturan teknis terkait penanganan barang berbahaya sehingga dilapangan kita jelas,” akunya.
Senada, Kepala KSOP Kelas IV Nunukan, Capt Tedang mengutarakan, samarnya payung hukum yang mendasari secara teknis pengawasan terhadap barang berbahaya tak jarang memberi cela bagi pihak-pihak untuk melihat itu dari kacamata negativ sehingga yang jita harapkan adanya kejelasan.
“Kami juga pernah berhadapan dengan instansi lain yang tidak srpenuhnya memahami tupoksi syahbandar dalam penanganan seperti kegiatan pengisiaan bbm,” ucapnya.
Dari monitoring dan evaluasi yang telah dilakukan, Oka menyimpulkan, mayoritas daerah menginginkan payung hukum yang jelas, bagaimana pengawasan barang berbahaya, bagaimana sistem pengawasan yang akan dilakukan serta penanganannya. Bahkan, pihak INSA juga pernah mempertanayakan, pengawasan yang dilakukan itu seperti apa, apa hanya cukup dengan memberikan surat keterangan pengawasan yang harus ditebus oleh pelayaran berupa PNBP atau petugas melakukan pengawasan on side terhadap barang berbahaya itu di bongkar dan dimuat dari kapal ke dermaga atau sebaliknya.
“Hal- hal itu yang coba ingin kita prioritaskan karena setiap UPT yang ada di daerah ingin mendapatkan payung hukum yang jelas dan juga supaya tidak bersinggungan dengan aparat hukum yang lainnya,” pungkasnya. (RG)