SURABAYA – Meski jeritan para pengusaha angkutan penyeberangan yang tergabung dalam Gabungan Pengusaha Nasional Angkutan Sungai, Danau dan Penyeberangan (Gapasdap) sudah diserukan melalui surat permohonan tentang kebijakan harga bahan bakar minyak (BBM) agar diturunkan, namun hingga kini hanya hisapan jempol saja. Pasalnya, wadulan itu hingga kini belum ada respon yang jelas dari pihak pertamina meski kementerian perindustrian sudah memerintahkan untuk mempertimbangkannya.
“Kondisi kepengusahaan yang belum juga membaik, harus menghadapi penurunan demand akibat adanya wabah Covid-19 yang cukup drastis, baik barang maupun penumpang. Jumlah demand secara rata-rata mengalami penurunan 40-50 persen, yang ini mengakibatkan semakin sulitnya pengusaha dalam mengoperasikan kapalnya,” ujar Ketua DPP Gapasdap, Khoiri Soetomo didampingi Ketua Bidang Tarif Rakhmatika Ardianto kepada wartawan di kantornya, Rabu (27/5/2020).
Menurut Khoiri, angkutan penyeberangan selain berfungsi sebagai sarana, juga sebagai prasarana jembatan atau infrastruktur yang harus bisa melayani masyarakat secara terus menerus tanpa berhenti. Fungsi infrastruktur inilah yang meskinya dilihat oleh pemerintah sebagai fungsi yang sangat vital dan harus dilindungi.
“Kami itu real tol laut yang telah menghubungkan seluruh kepulauan yang ada dari sejak dulu, jauh sebelum adanya tol laut yang menjadi program pemerintahan sekarang,” tegasnya.
Sayangnya, lanjut Khoiri, kondisi harga minyak yang terus mengalami penurunan tampaknya belum juga membuat pemerintah melakukan kebijakan untuk menurunkan harga BBM di tanah air, khususnya terkait dengan BBM jenis solar, yang sangat berpengaruh pada cost logistik. Harga minyak mentah dunia turun drastis sejak bulan lalu hingga sampai saat ini. Harga minyak mentah Brent untuk kontrak Juni anjlok ke bawah 20 dollar AS per barel. Demikian juga, harga minyak West Texas Intermediate (WTI) 12 dollar AS per barel, bahkan sempat di bawah 0 dollar AS per barel.
Khoiri menambahkan, harga minyak dunia sebenarnya sudah turun sejak awal tahun ini akibat permintaan industri anjlok setelah merebaknya Covid-19 di Wuhan, China. Mengutip data bunker-ex.com per 27 Mei 2020, paparnya, harga bunker minyak diesel atau solar jenis MGO (HSD) di pelabuhan Singapura tercatat 286 dollar AS per 1.200 liter. Ini berarti harga solar nonsubsidi di pelabuhan transhipment terbesar di Asia Tenggara itu hanya Rp 3.527 per liter (asumsi kurs Rp 14.800 per dollar AS).
“Harga itu lebih rendah dari harga solar nonsubsidi (HSD) di Indonesia sebesar Rp 7.300 per liter (harga bulan Mei 2020), bahkan masih lebih rendah dibandingkan harga solar subsidi di Indonesia yang masih Rp 5.150 per liter,” jelasnya.
Mengacu dari data itu, dia yakin harga solar nonsubsidi di dalam negeri seharusnya tidak akan lebih dari Rp 4.300 per liter meskipun dibebani pajak Ppn 10 persen, PBB 5 persen dan PPH 0,3 persen serta ongkos angkut.
“Kalau solar nonsubsidi saja dijual Rp 4.300 per liter, berarti harga solar subsidi di Indonesia seharusnya maksimal Rp 3.300 per liter,” katanya.
Melihat kondisi diatas, Khoiri berharap, kepada pemerintah untuk segera menurunkan harga BBM bersubsidi agar dapat meringankan biaya operasional kami, mengingat BBM adalah komponen biaya operasional yang terbesar, yaitu sekitar 40%. Dengan penurunan harga BBM bersubsidi, kami akan sedikit terbantu dalam menutup biaya operasional kami, ujarnya.
Penurunan harga BBM tersebut juga akan dapat menjadi trigger pertumbuhan ekonomi, yang juga akan berpengaruh pada jumlah demand yang ada. Dan kami mungkin tidak perlu melakukan rasionalisasi karyawan jika memang sudah mampu menutup biaya operasional.
“Jika problem kesulitan operasional ini tidak teratasi maka hal ini akan dapat menyebabkan transportasi penyeberangan akan terhenti,” pungkasnya. (RG)