SURABAYA – Upaya PT Pelindo III (Persero) melalui anak perusahaan PT Pelindo Marine Service (PMS) berkiprah di dunia Internasional mengambil bagian dalam kancah persaingan bisnis pelayanan Pemanduan Selat Malaka, Selat Phillip, dan Selat Singapura akhirnya berbuah nikmat. Pasalnya, yang selama ini berjuang dan telah membuka pasar kini diberi kepercayaan oleh Kementerian Perhubungan berupa Pelimpahan Pemanduan wilayah perairan pandu luar biasa alur pelayaran Traffic Separation Scheme (TSS) tersebut.
Penunjukkan tersebut berdasarkan SK Direktur Jenderal Perhubungan Laut yang diserahkan oleh Kasubdit Pemanduan dan Penundaan Kapal Direktorat Kepelabuhanan, Kementerian Perhubungan, Agus Arifianto kepada Direktur Teknik Pelindo III Joko Noerhudha, yang didampingi oleh Direktur Utama Pelindo Marine Service Eko Hariyadi Budiyanto, di Surabaya, Selasa (18/2/2020).
“Hari ini merupakan momen bersejarah, setelah melalui berbagai tahapan yaitu evaluasi kinerja, sarana prasarana, dan SDM. Pelindo III dipercaya untuk melayani pemanduan, terutama di TSS. Hal ini penting karena pasar global semakin bersaing. (Layanan pemanduan perairan Selat Malaka) harus dilaksanakan dengan service excellent, sebagai penegasan untuk menjaga ketahanan dan suplai logistik Indonesia,” kata Agus Arifianto dalam sambutannya.
Pada acara tersebut, Joko Noerhudha, mengapresiasi kinerja strategis Dirjen Perhubungan Laut, Kementerian Perhubungan dan Kementerian Luar Negeri yang telah berhasil untuk tidak hanya mengokohkan kedaulatan wilayah teritorial Indonesia, tetapi juga membuka peluang pendapatan bagi industri maritim nasional.
“Dengan diberikannya SK oleh pemerintah kepada Pelindo III, maka Pelindo III melalui Pelindo Marine Service, sebagai BUMN akan semakin dipercaya oleh operator atau agen kapal-kapal internasional untuk menggunakan jasa pandu dan kapal tunda Indonesia dalam melayari Selat Malaka dan sekitarnya dengan aman dan selamat,” katanya.
“Pelindo III terus mendorong anak usahanya untuk mengembangkan bisnis di luar captive market-nya. Salah satunya dengan terus berinovasi agar bisa memberikan added value kepada pengguna jasa global. Ini juga merupakan wujud ekspansi BUMN ke pasar internasional,” tambah Joko Noerhudha.
Senada, Eko Hariyadi Budiyanto mengungkapkan, peluang bisnis menggarap layanan pandu dan tunda di perairan tersebut telah dibahas bertahun-tahun oleh para negara pantai atau The Littoral States. Forum negosiasi multilateral tersebut yaitu Forum Tripartite Technical Expert Group (TTEG) yang diikuti oleh Indonesia, Malaysia, dan Singapura.
“Negosiasi mulai menemukan titik terang pada pertemuan Intersessional Meeting of The Working Group on Voluntary Pilotage Services in Straits of Malacca and Singapore di Bandung, awal 2017. Pertemuan ini digagas pada Forum TTEG ke-41 di Yogyakarta,” jelasnya yang juga hadir pada Forum TTEG tersebut.
Penunjukkan tersebut, lanjut Eko, merupakan penegasan komitmen Pemerintah Indonesia pada pengembangan sektor maritim nasional. Melalui Kementerian Perhubungan memberikan kepercayaan pada BUMN, khususnya Pelindo III yang memiliki anak usaha di bidang marine service, yaitu PMS. PMS sudah melayani jasa pemanduan di perairan Selat Malaka selama beberapa tahun ini.
“Memang persaingan di sana cukup ketat, ada pilotage atau marine advisory oleh Malaysia dan Singapura. Padahal sekitar 60 persen wilayah pelayaran tersebut merupakan wilayah NKRI. Jadi itu tantangannya bahwa menunjukkan pada komunitas maritim internasional bahwa Indonesia mampu mengelola Selat Malaka. Layanan pilotage dan marine advisory yang dikerjakan oleh Pelindo Marine Service merupakan bagian dari rencana kerja Pemerintah Indonesia untuk mengembangkan vessel traffic information system (di perairan Selat Malaka),” jelasnya.
Sementara itu, pengajar maritim ITS Surabaya, Saut Gurning, yang turut hadir pada kesempatan tersebut, mengutip data Straitrep (2019) bahwa pada kurun waktu 2009-2019 arus kapal yang melalui Selat Malaka sekitar 60.000-85.000 unit per tahun.
“Dari jumlah tersebut baru sekitar 300 kapal saja yang dilayani oleh Indonesia. Seharusnya ke depan bisa mencapai 2.000-3.000an unit. Lebih strategis bagi Indonesia untuk melayani kapal-kapal besar, misalnya VLCC (very large crude carrier/tanker),” paparnya.
Ia menambahkan, dari jumlah 60.000-85.000 unit kapal per tahun tersebut, nilai ekonominya mencapai Rp 45 triliun untuk layanan pandu saja. Bila ditotal dengan derivasinya bisa mencapai Rp 360 triliun. Kenyataan tersebut seperti tidak terlihat oleh Indonesia, padahal sebenarnya sebagian besar melayari jalur di sisi eastbound (wilayah Indonesia) seperti dari Sumatra hingga Natuna.
“Saat ini realisasinya dari sekitar 80 ribu kapal, diperkirakan sekitar 70 persennya dilayani oleh Singapura. Karena mereka ada pelabuhan. Maka pelabuhan interport di Indonesia harus terus dikembangkan, misalnya Kuala Tanjung. Bila hanya bermain di segmen hinterland (wilayah pendukung pelabuhan), porsi keuntungannya jauh. Seluruh stakeholder, baik pemerintah, BUMN, swasta harus bekerja sama untuk mengelola potensi Selat Malaka,” pungkasnya. (RG)