BATULICIN – Anggota Komisi V Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) dari Fraksi PDI Perjuangan Rifqinizamy Karsayuda tetap merestui rencana pembangunan Jembatan Pulau Laut yang menghubungkan dua kabupaten masing-masing Kotabaru-Tanah Bumbu, namun dengan tetap melihat aspek keselamatan pelayaran di perairan yang dilintasinya.
Rifqinizamy mengaku, salah satu ruang lingkup tugas dan kewenangan Komisi V di bidang perhubungan adalah perhubungan laut. meski sudah ada pembicaraan dengan dirjen Bina Marga Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Republik Indonesia bahkan desainya sendiri sudah keluar tapi jujur nanti kita akan lakukan koordinasi lanjutan dengan kawan-kawan Kementerian Perhubungan khususnya perhubungan laut karena keberadaan jembatan Pulau Laut itu selama ini menjadi jalur lalu lalang kapal sehingga diharapkan jangan sampai keberadaan jembatan itu menyelesaikan konektivitas darat tapi menistakan konektifitas laut.
“Saya janji selambat-lambatnya pada bulan Februari 2020 kita akan lakukan rapat koordinasi dengan balai pelaksana jalan nasional, syukur-syukur bisa saya ajak Direktur jembatan Dirjen Bina Marga PUPR,” ujarnya disela kunjungannya ke pelabuhan Banjarmasin.
Kami juga sepakat, lanjut Rifqi, apa yang menjadi masukan dari teman-teman terutama KSOP Kotabaru-Batulicin agar pembangunan jembatan itu disesuaikan dengan kebutuhan yang ada. Bukan hanya kebutuhan sekarang tetapi kedepan sepuluh dua puluh tahun yang akan datang keberadaannya harus tetap dapat mengakomudir kepentingan yang lebih besar baik sisi darat maupun sisi laut dalam dunia pelayaran.
“Karena kalau itu tetap ngotot dengan konsep yang ada sekarang, dari sisi perhubungan laut harus melakukan penyesuaian yang signifikkan dan itu tentu harus kita diskusikan secara serius karena menyangkut keselamatan pelayaran,” tandas Rifqi.
Sedang keberadaan jembatan itu nantinya akan mempunyai dampak ekonomisnya jelas tinggi dengan terhubungnya daratan Kalimantan dengan Pulau Kotabaru. Selama ini, akses dari dan ke Kotabaru sangat terbatas hanya dengan kapal ferry, tentu ongkos ekonominya lebih besar. Tak mengherankan jika biaya hidup di Kotabaru rata-rata lebih tinggi dibandingkan dengan daerah lainnya di Kalsel. Peluang ekspansi ekonomi pun akan lebih terbuka dengan terhubungnya Pulau Kotabaru yang sempat pengarapan awal pada 2016 silam dan sekarang dalam pembahasan ulang.
Dengan keberadaan jembatan itu nantinya juga akan membantu daerah ekonomi esklusif atau yang disebut dengan KEK (Kawasan Ekonomi Khusus). Rencana ditetapkannya KEK di dua kecamatan di Kabupaten Kotabaru yaitu Pulau Laut Barat dan Kecamatan Pulau Laut Tanjung Selayar yang di pusatkan di Mekar Putih.Keseriusan itu tergambar jelas karena tahapan penetapan KEK di Mekar Putih sudah memasuki tahap finalisasi.
Terpisah, Kepaala Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan (KSOP) Kelas III Kotabaru-Batulicin (KBBL), Capt. M. Hermawan, S.Sit, M.M, MMar mengatakan, memang keberadaan jembatan pulau laut itu akan memberi dampak positif, apalagi rencana keberadaan Ibu Kota Negara akan dipindah di Kalimantan Timur, tentu Kalimantan Selatan khususnya akan menjadi penopang mengingat perairan disini menjadi lalu lintas pelayaran Internasional. Kita ketahui wilayah perairan Kotabaru berada di ALKI II, berhadapan dengan Selat Makassar. ALKI dapat dimanfaatkan oleh kapal asing di atas laut melalui Selat Makassar, Laut Sulawesi, Laut Flores, Selat Lombok yang menghubungkan Samudra Hindia dan Samudra Pasifik.
“Memang perlu kajian ulang pembangunan itu khususnya tinggi jembatan melihat kedepannya Kalimantan Selatan akan menjadi daerah penopang ibu Kota Negara sehingga keberadaannya tidak mengganggu alur pelayaran di selat laut untuk lalu lintas kapal di pelayaran perairan ALKI,” katanya, Jum’at (3/1/2020).
Menurut Hermawan jika jembatan itu dibangun dengan perhitungan yang dangkal maka asas manfaatnya sangatlah terbatas jika hanya melihat dari kepentingan konektivitas darat saja. Padahal potensi besar ada di wiilayah perairannya yang menjadi alur pelayaran Internasional dengan derasnya kapal yang melintas.
“Awalnya rencana pembangunan jembatan itu akan dibangun setinggi 40 meter dari permukaan air laut pada saat pasang sedangkan kapal yang pernah melintas di daerah tersebut mempunyai tinggi 45 meter,” jelas Hermawan.
Hermawan juga mengaku, dalam rapat yang pernah diikutinya dengan pihak Pemprov Kalimantan Selatan bersama pihak PUPR dibicarakan terkait tinggi jembatan yang aman terhadap lalu lintas kapal sehingga meminta kami agar bisa memberi informasi bahkan 20, 30 hingga 100 tahun kedepan tinggi yang aman untuk lalu lintas kapal itu berapa yang layak.
“Harapan saya kalau memang dibangun ya tinggi sekalian sehingga tidak menghambat pelayaran karena bagaimanapun juga Batulicin-Kotabaru sebagai penopang untuk ibu Kota Negara yang akan datang. Sesuai kenavigasian minimal 40 meter tapi kenyataan dilapangan kan pernah dilintasi kapal lebih. Karena kapal semakin tahun semakin besar ukurannya,” pungkasnya.
Seperti diketahui, pembangunan jembatan yang dimulai pada tahu 2016 itu menuai kontroversi, pasalnya dianggap pembangunannya tidak mempertimbangkan matang-matang sisi kepentingan pelayaran kapal. Pada hal daerah perairan tersebut merupakan alur pelayaran Internasional ALKI II (Alur Laut Kepulauan Indonesia II) yang mempunyai potensi pendapatan yang besar dari lalu lalang kapal yang melintas dengan ukuran jumbo.
Ditambah lagi, hambatan tentang pendanaan pun menjadi pembahasan karena untuk pembangunan jembatan tersebut dibutuhkan anggaran tidak sedikit meski kedua pemerintah daerah baik Kotabaru maupun Tanah Bumbu patungan dan ditambah lagi dari Provinsi Kalimantan Selatan yang di total sekitar 1 triliun itu pun masih kurang jika harus di desain ulang terutama menyangkut tinggi jembatan dari permukaan air laut saat pasang. (RG)