SURABAYA – Direktorat Jenderal Bea dan Cukai mengungkap satu kontainer barang impor bolpen bermerek palsu asal China yang dikapalkan masuk melalui Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya.
Direktur Jenderal (Dirjen) Bea dan Cukai Heru Pambudi mengatakan, satu kontainer Yang berisi pulpun tiruan dengan merk palsu itu berisi sebanyak 858.240 buah bolpen yang ditaksir senilai Rp1.019.160.000.
“Pengirimnya adalah PT PAM dari China. Pulpen tiruan itu merek Standard AE7 yang sebenarnya ‘made in Indonesia’ dengan hak kekayaan intelektual atau HKI dimiliki oleh PT Standardpen Industries,” ujarnya kepada wartawan saat lakukan jumpa pers di Terninal Petikemas Surabaya (TPS), Kamis, (9/1/2020).
Heru mengaku, pengungkapan kasus barang impor bolpen palsu ini merupakan yang pertama sejak diterbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 20 Tahun 2017, menyusul diberlakukannya Undang-undang (UU) Nomor 17 Tahun 2006, sebagai revisi dari UU Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan. Dengan begitu perangkat hukum kepabeanan dengan sistem “border measure” semakin lengkap dan diperkuat juga dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 40/PMK.04/2018 sampai dengan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 06 Tahun 2019.
“Dengan begitu pengawasan dan penindakan HKI lebih optimal karena Bea Cukai, Mahkamah Agung, Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual dan Pengadilan Niaga telah terintegrasi sehingga memangkas waktu dan jalur birokrasi lintas kementerian atau lembaga,” jelasnya.
Namun begitu, keberhasilan ini lanjut Heru tidak lepas dari kerja sama pemilik atau pemegang merek yang telah melakukan perekamanan atau rekordasi dalam sistem otomasi kepaneanan barang-barang HKI yang telah diimplementasikan oleh Bea Cukai sejak 21 Juni 2018.
“Sampai sekarang sudah ada sebanyak tujuh merek dan dua hak cipta yang telah terekordasi dalam sistem ini, salah satunya dari PT Standardpen Industries,” katanya.
Selanjutnya, Heru menambahkan, ketika menemukan satu kontainer pulpen tiruan impor merek Standard AE7, Bea Cukai segera menotifikasi kepada PT Standardpen Industries sebagai pemilik merek yang telah terekam dalam sistem otomasi kepabeanan barang-barang HKI, yang kemudian mengonfirmasi untuk dilakukan penangguhan sementara melalui Pengadilan Niaga di Pengadilan Negeri Surabaya.
“Pengadilan Niaga di Pengadilan Negeri Surabaya telah resmi menjatuhkan putusan penangguhan sementara barang-barang impor tiruan merek Standard AE7 tersebut,” tegas Heru.
Ditempat yang sama, Ketua Pengadilan Negeri Surabaya Nursyam menjelaskan, setelah resmi ditangguhkan, pemilik atau pemegang merek selanjutnya dapat meningkatkan proses hukum dengan dua pilihan, yaitu pidana atau perdata.
“Kalau menempuh jalur pidana, pelakunya bisa dikenakan sanksi sesuai dengan Pasal 99 UU Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis, dengan ancaman hukuman pidana penjara paling lama 5 tahun dan/ atau denda paling banyak Rp2 miliar,” ucapnya.
Sementara itu, Direktur Utama PT. Standardpen Industries, Megusdyan Susanto menjelaskan, selama dari kurun waktu tahun 2005 hingga terungkapnya kasus pemalsuan merk dagang dari salah satu produk kami ini perusahaan mengalami kerugian yang cukup besar sekitar Rp 1 triliun lebih yang puncaknya kami rasakan penurunan yang draktis, sehingga kami lakukan operasi pasar.
“Efek negatifnya tidak langsung terasa karena terjadi penurunan terus dan harga hancur di grosir sehingga pada puncaknya di tahun 2012 mengalami stagnasi,” ungkapnya.
Yang terjadi di pasaran, lanjut Magusdyan, pasar capek menjual produk kita karena tidak ada kesetabilan harga, hal itu juga menjadi salah satu pemicu perusahaan melakukan operasi pasar dan hasilnya menemukan bulpen yang menggunakan merk sama seperti produk kita sehingga kita pantau terus hingga keseluruh daerah.
“Kami terus lakukan operasi pasar dengan bantuan Kepolisian namun karena wilayahnya luas sehingga itu membutuhkan waktu. Kami cek dilapangan barang itu memang di produksi di China dan dijual dengan harga Rp 2 ribu di eceran,” akunya.
Selama ini kami cukup menderita, Magusdyan menyebut pemalsu bulpen itu adalah jaringan yang sangat rapi dari yang impor sampai si penjual. Jadi dengan pengungkapan kasus ini diharaokan bisa membasmi impor ilegal sekaligus pemalsuan merk.
“15 tahun bisa memalsu yang secara kasat mata konsumen tidak akan membedakan tapi kalau kita tahu karena ada ciri khusus perusahaan,” imbuh Magusdyan.
Bagi Dirjen Heru Pambudi, penindakan atas barang impor yang melanggar HKI sangat penting dalam melindungi industri dalam negeri, terutama pemilik atau pemegang merek/ hak cipta maupun industri kreatif dalam negeri agar dapat tumbuh dan memliki daya saing sehingga dapat berkontribusi kepada negara melalui pembayaran pajak.
“Selain itu penindakan tegas atas barang impor tiruan atau merek palsu untuk membuktikan bahwa Indonesia sangat ‘concern’ terhadap perlindungan HKI sehingga diharapkan dapat meningkatkan kepercayaan dunia internasional. Sekaligus diharapkan dapat menambah poin agar Indonesia tidak masuk dalam ‘Priority Watch List United States Trade Representative’ untuk isu perlindungan HKI,” katanya. (RG)