SURABAYA – Tragedi Mei 1998 kembali ramai menjadi topik bahasan. Bukan saja bertepatan dengan peringatan peristiwa tersebut, namun juga terkait riuhnya suara penolakan terhadap hasil Pilpres 2019 yang akan diumumkan 22 Mei mendatang.
Kubu dari paslon nomor urut 02, Prabowo Subianto -Sandiaga Uno, menyatakan akan menolak hasil penghitungan suara Pemilu 2019 yang dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum ( KPU) dengan mengerahkan massa atau “People Power”, jika KPU menetapkan pasangan Joko Widodo -Ma’ruf Amin sebagai pemenang.
Sebab, mereka (BPN,red) menganggap telah terjadi kecurangan selama penyelenggaraan pemilu, dari mulai masa kampanye hingga proses rekapitulasi hasil perolehan suara yang saat ini masih berjalan.
Menanggapi ancaman “People Power” yang tampaknya berlebihan dan tidak ada korelasinya itu, Ketua Majelis Pimpinan Cabang (MPC) Pemuda Pancasila Kota Surabaya, Haries Purwoko merasa prihatin dengan elit/tokoh BPN yang dinilai tidak mencerminkan sifat seorang pemimpin atau negarawan.
“Seorang pemimpin itu harus mampu meredam dan membuat aman serta nyaman masyarakatnya. Jangan hanya karena kalah pilpres, lantas akan mengerahkan massa. Bagi saya sebagai seorang muslim, sungguh itu bukan perbuatan yang diridhoi Allah SWT,” ujar Haries kepada awak media, Jum’at (16/5/2019).
Dengan kata lain, Haries mengatakan “People Power” ala BPN itu kurang tepat alasan dan sasarannya. Sebab yang berkorelasi dengan People Power adalah menumbangkan kepala negara atau pemerintahan yang diktator, tiranis, korup, kriminalis dan melanggar UU (misalnya UUD 1945 di negara kita).
“Sebagai capres yang ikut bertarung di Pilpres 2019, tidak ada alasan bagi pak Prabowo untuk tidak taat pada konstitusi. Seharusnya mereka menolak hasil penghitungan KPU serta dengan mengajukan protes melalui Mahkamah Konstitusi (MK),” katanya.
Haries menjelaskan bahwa, dengan terjadinya People Power di Filipina melalui revolusi EDSA akibat persoalan korupsi, diktator, tiranis, dan kriminal. Apakah presiden Jokowi masuk dalam kategori tersebut sehingga pantas diajak People Power terhadapnya? Sepertinya sangat jauh berbeda. Bedanya selangit!
“Jangan meletakkan issu People Power pada bidang yang kurang tepat untuk obyek yang tidak tepat. People power itu cocoknya untuk diktator yang telah melaksanakan aneka pelanggaran sebagai mana contoh Marcos,. Selain itu Nikolae Causesco (Romania), Musollini (Italia), Daniel Ortega (Nikaragua), Fulgencio Batista (Kuba), Idi Amin Uganda), Jean -Claude Duvalier (Hati) dan lain-lain.,” jelasnya.
Senada, Sekretaris Majelis Pimpinan Cabang (MPC) Pemuda Pancasila Kota Surabaya, Baso Juherman, menilai tidak pantas seorang elit nasional mengeluarkan statement yang mengandung konotasi negatif mengajak ribut.
“Sepantasnya para elit itu meneduhkan hati dan menebarkan benih damai di bulan suci Ramadhan yang penuh berkah ini. Bukan meraih kekuasaan dengan cara Inkonstitusional (People Power), sebab, hanya akan melahirkan kekuasaan yang tidak memiliki legitimasi, kekuasaan yang tidak legitimate hanya akan menciptakan kegaduhan nantinya,” ujar Baso.
Baso mengatakan, pascapemilu banyak isu-isu yang bersifat hoaks yang berpotensi memecah masyarakat. Untuk itu kami (Pemuda Pancasila Kota Surabaya,red), menolak keras gerakan “People Power” tersebut. Ia juga mengajak masyarakat untuk menangkal isu tersebut, dengan memperkuat persatuan sebagai muslim dan sebagai bangsa Indonesia yang berlandaskan ideologi Pancasila.
“Sebagai Islam yang rahmatan lil alamin, mari bersama menjaga kerukunan, sehingga ukhuwah islamiyah dan wathaniyah tetap terjalin dan menjadi semakin erat,” ajaknya.
Selain itu, Ketua Muaythai Indonesia (MI) Kota Surabaya ini juga meminta masyarakat untuk menghormati siapa pun yang terpilih menjadi Presiden dan Wakil Presiden hasil ketetapan KPU pada 22 Mei mendatang. Karena itu merupakan kehendak Allah SWT.
“Kepada masyarakat Indonesia, yang ada di bumi tercinta ini, mari kita kembali dari tujuan Allah SWT. Siapa yang jadi kita dukung, kita sami’na wa atho’na, kita dengar dan kita taati,” pintanya. (Diea/MC).