SURABAYA – Upaya yang dilakukan Kabag Humas Pemkot Surabaya, M. Fikser terkait penolakan salah satu wartawan televisi JTV yang dilarang meliput acara di rumah Dinas Walikota Surabaya dengan mengeluarkan surat yang dilayangkan kepada pihak Media Televisi (JTV) hal itu terkesan sebagai bentuk-bentuk penindasan terhadap media massa dan sangat disayangkan. Pasalnya permintaan pengantian personil wartawan oleh Pemkot Surabaya melalui surat dengan nomor 489/2747/436.3.3/2018 tertanggal 10 Oktober 2018 yang ditujukan kepada Pemimpin Redaksi JTV itu tidak mendasar.
“Sikap Pemkot itu sudah mengancam kebebasan dan kemerdekaan pers jika ada persoalan yang muncul akibat berita silakan konfirmasi atau gunakan hak jawab,” ujar Pemimpin Redaksi Jawa Pos Media Televisi (JTV) Imam Syafi’i saat dikonfirmasi, Jum’at (12/10/2018).
Imam sangat menyayangkan sikap Pemkot Surabaya terhadap pengiriman surat itu, permintaan mengganti personel wartawan yang pos di lingkungan Pemkot tidak akan ditanggapi perusahaan. Pasalnya, pihak Pemkot tidak memiliki dasar yang jelas.
“Kalau minta adanya pengantian wartawan, kita ini kan bukan pegawainya Dia (Pemkot Surabaya.red),” tegasnya.
Seharusnya, lanjut Imam, pihak Kabag Humas Pemkot Surabaya tahu mana porsi media dalam sebuah pemberitaan dan jangan main atur-atur senaknya sendiri. Pekerja jurnalis sudah nyata dilindungi oleh Undang-Undang sehingga siapapun yang melarang atau alergi terhadap wartawan itu pelanggaran berat.
“Kalau berita itu yang baik-baik saja, itu tugasnya humas. Tapi kalau media ini kan, baik ya ditulis baik, kurang baik ditulis kurang baik apa adanya lah,” ungkapnya.
Sedang, terkait permintaan pihak Pemkot Surabaya yang sudah dilayangkan kepada JTV, Imam menegaskan bahwa pihaknya tidak akan melakukan pemindahan terhadap wartawanya yang pos liputanya ada di lingkungan Pemkot Surabaya.
“Kita tidak akan pindahkan Dewi Imroatin dari posnya, masak reporter kritis kok mau dipindah. Justru reporter yang tidak kritis itu yang harus dipindah,” pungkasnya.
Sementara itu, banyak pihak pihak yang menyayangkan kejadian itu baik dari internal partai pengusung Walikota Tri Rismaharini sendiri maupun dari pihak lain. Menurut Ketua Bidang Pemenangan Pemilu DPP PDI Perjuangan, Bambang DH sikap Tri Rismaharini yang melarang salah satu wartawan televisi melakukan liputan di rumah dinasnya sangat disesalkan. Pasalnya, apa yang dilakukan itu sedikit banyak akan berdampak kepada partai.
“Dengan kejadian tersebut jelas ini mencoreng nama citra partai.” Ujarnya.
Menurut Bambang, pekerja jurnalis sudah nyata dilindungi oleh Undang-Undang sehingga siapapun yang melarang atau alergi terhadap wartawan itu pelanggaran berat.
“Saya khawatir suara partai di Surabaya akan anjlok karena kelakuan bu Risma yang mencoreng nama baik partai yang selama ini sudah bagus dimata publik, akibat melarang wartawan meliput dirinya.” Tegas Bambang DH.
Sedang, Kepala Divisi Advokasi dan Bantuan Hukum DPP Partai Demokrat, Ferdinand Hutahaean menyesalkan jika benar surat itu diterbitkan karena Wali Kota Surabaya, Tri Rismaharini (Risma) enggan dikritisi. Menurutnya, hanya orang sakit yang enggan dikritisi.
“Kalau ada kepala daerah minta wartawan dicopot karena enggan ditanya isu sensitif, saya pikir perlu diperiksa juga Bu Risma-nya,” kata Ferdinand di bilangan Tebet, Jakarta Selatan dilansir dari media, Jumat (12/10/2018). (ruu/RG)