BANYUWANGI – Nasib awak kapal KMP Mutiara Alas III milik pelayaran PT Atosim Lampung Pelayaran (ALP) yang beroperasi di selat Bali atas perlakuan manajemennya dengan tidak memenuhi hak-hak yang harus diterima hingga saat ini sepertinya belum pecah, anehnya meski mediasi yang telah beberapa kali dilakukan dengan jajaran Manajemen perusahaan pelayaran walaupun sudah ada surat pernyataan yang ditandatangani oleh Direktur Keuangan PT ALP, tertanggal 06 September 2018 tentang pembayaran gaji karyawan dan crew kapal ternyata tidak ditepati sehingga terjadi mogok kerja itu akan berdampak dapat merugikan perusahaan. Pasalnya, dalam Undang-undang no 17 tahun 2008 melalui kewenangan yang dimiliki nakhoda dapat mengambil tindakan hingga menjual sebagian bahkan kapal itu sendiri untuk wilayah tertentu.
“Bila perusahaan tidak membayar gaji pelaut memungkinkan menjual aset yang ada di kapal bahkan kapalnya sekalipun sesuai ketentuan,” kata Ketua Mahkamah Pelayaran, Capt Arifin Soenardjo, M.Hum disela-sela membuka sisialisasi dan bimbingan teknis pemeriksaan kecelakaan kapal dalam rangka peningkatan Keselamatan Pelayaran di Surabaya, Selasa (25/9/2018) malam.
Arifin juga mengingatkan, kesejahteraan kerja dinyatakan dalam perjanjian kerja antara awak kapal dengan pemilik atau operator kapal sesuai dengan peraturan perundang-undangan Pasal 152 UU No. 17 tahun 2008 menerangkan bahwa ada hak-hak dari awak kapal yang harus dipenuhi seperti hak atas Upah, hak atas tempat tinggal dan makan, hak cuti dan hak menggugat dan menuntut.
“Minimal jika ship owner kapal lalai atas gaji awak kapal dengan limit waktu biasanya akan menjual per item yang ada di kapal sampai terpenuhinya nilai hak yang dilanggar tadi. Bisa saja mana yang paling mahal, katakanlah jangkar itu nilainya mahal maka bisa dijual jika masih kurang dapat ditambahkan dengan barang yang lain,” terang capt. Arifin.
Namun Capt. Arifin menegaskan, dalam hal ini hubungan kerja itu berada di ranah dinas ketenagakerjaan sedang mahkamah pelayaran hanya menyoal bila ada terjadinya kasus musibah kecelakaan kapal di laut.
Sedang, Hak atas Upah yang dimaksud dimana besarnya upah yang diperoleh anak buah kapal didasarkan atas perjanjian kerja laut, sepanjang isinya tidak bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, tidak bertentangan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 7 tahun 2000 tentang kepelautan, dan tidak bertentangan dengan peraturan gaji pelaut Berdasarkan Pasal 21 ayat (1), (2), PP No.7 tahun 2000, Upah tersebut didasarkan atas:
– 8 Jam Setiap hari.
– 44 jam perminggu.
– Istirahat sedikitnya 10 jam dalam jangka waktu 24 jam.
– Libur sehari setiap minggu.
– Ditambah hari-hari libur resmi.
Dan Hak atas tempat tinggal dan makan itu ada dalam peraturan mengenai hak tempat tinggal dan makan bagi anak buah kapal diatur pada pasal 436-438 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang dan Pasal 13 Schepelingen Ongevalin (S.O) 1935. Berdasarkan ketentuan pasal tersebut. Anak buah kapal berhak atas tempat tinggal yang baik dan layak serta berhak atas makan yang pantas yaitu cukup untuk dan dihidangkan dengan baik dan menu yang cukup bervariasi setiap hari. Ketentuan ini dipertegas dalam Peraturan Pemerintah Nomor 7 tahun 2000 tentang Kepelautan pasal 25 yaitu;
-(a) Pengusaha atau perusahaan angkutan di perairan wajib menyediakan makanan, alat-alat pelayanan dalam jumlah yang cukup dan layak untuk setiap pelayaran bagi setiap awak kapal di atas kapal.
-(b) Makanan harus memenuhi jumlah, serta nilai gizi dengan jumlah minimum 3.600 kalori perhari yang diperlukan anak buah kapal agar sehat dalam melaksanakan tugas-tugasnya di kapal.
-(c) Air tawar harus tetap tersedia di kapal dengan cukup dan memenuhi kesehatan. Apabila ketentuan diatas dilanggar, maka dapat dikatakan sebagai pelanggaran hukum, dimana anak buah kapal dapat melakukan pemaksaan terhadap pelayaran untuk membayar ganti rugi terhadap kerugian yang diderita.
Begitu juga Hak Cuti, ketentuan yang mengatur hak cuti anak buah kapal terdapat dalam Pasal-pasal 409 dan 415 KUHDagang, yang prinsipnya sama dengan cuti yang diberikan kepada tenaga kerja di perusahaan pada umumnya.
Selain hak-hak yang telah diterangkan di atas, anak buah kapal juga mempunyai hak-hak yang bersifat azasi dan kebebasan serta hak-hak untuk menuntut jika diperlakukan tidak adil.
Sementara itu, nakhoda menurut ketentuan Pasal 341 dan Pasal 377 KUHD menyebutkan bahwa nahkoda adalah pemimpin kapal, yaitu seorang tenaga kerja yang telah menandatangani perjanjian kerja laut dengan perusahaan pelayaran sebagai nakhoda yang memenuhi syarat dan tercantum dalam sijil anak buah kapal sebagai nakhoda ditandatangani dengan mutasi dari perusahaan dan pencantuman namanya dalam surat laut. Nakhoda dalam menjalankan tugasnya sehari-hari diatas kapal mempunyai jabatan penting.
Nakhoda juga mempunyai kewenangan lain;
-Dalam keadaan darurat berhak memakai bahan makanan milik pelayar.
-Ditempat tidak ada perwakilan dapat mengadakan perlengkapan kapal.
-Dalam keadaan mendesak diluar wilayah Indonesia berwenang menjual kapal.
-Mempekerjakan atau menurunkan penumpang gelap.
-Apabila dalam musyawarah dengan perwira diminta sumbangan pikiran nahkoda bebas untuk menerima atau mengabaikan saran tersebut.
“Intinya nakhoda disamping hak-hak dan kewenangan jabatan mempunyai kewajiban-kewajiban terhadap kapal, anak buah kapal, pengusaha kapal, pemilik muatan, pemerintah atau terhadap keselamatan pelayaran,” pungkasnya. (RG).